ANALISIS NOVEL SECARLET LETTER MENGGUNAKAN PENDEKATAN FEMINISME RADIKAL
ANALISIS
NOVEL SECARLET LETTER MENGGUNAKAN PENDEKATAN FEMINISME RADIKAL
A. Identitas
novel :
Judul :
Scarlet Letter
Penulis :
Nathaniel Hawthorne
Penyuting : Nien
Penerbit :
Narasi
Halaman :
274 halaman
B. Lampiran
Daftar Isi dan Cover Buku
a. Cover
b. Daftar
isi
BAB 1: Pintu Penjara - 5
BAB 2: Lapangan - 8
BAB 3: Pengenalan - 21
BAB 4: Percakapan - 34
BAB 5: Hester dengan jarumnya - 45
BAB 6: Pearl - 56
BAB 7: Rumah Gubernur - 68
BAB 8: Anak nakal dan pendeta - 77
BAB 9: Lintah - 90
BAB 10: Lintah dan Pasiennya - 102
BAB 11: Isi Hati - 116
BAB 12: Kesiapan Pendeta - 125
BAB 13: Pandangan lain dari Hester - 139
BAB 14: Hester dan Dokter - 149
BAB 15: Hester dan Pearl - 160
BAB 16: Perjalanan ke Hutan - 169
BAB 17: Pendeta dan Jemaatnya - 178
BAB 18: Pancaran Sinar Matahari - 194
BAB 19: Anak Kecil di Tepi Sungai - 203
BAB 20: Pendeta dalam Labirin - 214
BAB 21: Hari Besar New England - 229
BAB 22: Prosesi - 240
BAB 23: Pembukaan Rahasia Huruf Merah -
255
BAB 24 : Kesimpulan- 267
C. Sinopsis
Novel
Scarlett Letter ini
menceritakan tentang seorang wanita bernama Hester Prynne yang dipenjara karena
berzinah dan suatu hari di musim panas, ia bersama bayi hasil perzinahannya
dipermalukan di atas sebuah panggung yang memang dimaksudkan masyarakat New England
masa itu, untuk mempermalukan sang pendosa berat.
Hester Prynne merupakan
imigran Inggris yang dikirim suaminya untuk pergi lebih dulu dan bergabung
dengan komunitas Puritan di Boston. Sementara dua tahun berlalu, sang suami tak
kunjung ada beritanya. Tiba-tiba Hester mengandung sehingga ia dihakimi atas
dosa perzinahan. Ia diharuskan mengenakan kain dengan huruf A besar berwarna
merah menyala di dadanya. Huruf A untuk Adultery atau Pezinah sehingga siapapun
yang melihat sulaman huruf merah menyala di dadanya itu akan segera mengetahui
alasan utamanya disebut sebagai si pendosa.
Di atas panggung
hukuman ini Hester dengan huruf A merah menyala di dadanya tersebut dan
disaksikan pandangan mencemooh, mencela, dan menghakimi dari penduduk sekitar
diadili petinggi dan rohaniwan setempat yang menuntutnya untuk menyebutkan nama
si pria yang telah turut berzinah dengannya. Namun Hester sambil menggendong
bayinya tetap bertahan dan tak pernah mengungkapkan nama pria tersebut. Walau
mendapat tatapan cemooh dari masyarakat sekitar yang menontonnya, tapi Hester
demi harga dirinya berusaha tetap tenang dan memperlihatkan keangkuhan yang
anggun sebagai seorang narapidana. Namun ketenangannya nyaris runtuh saat
matanya melihat sosok seorang pria yang amat dikenalnya di antara kerumunan
penontonnya. Rupanya pria ini merupakan suaminya yang tak pernah ada kabar
beritanya itu. Suaminya merupakan seorang ilmuwan yang selama perjalanannya ke New
England ternyata mendapat tambahan ilmu pengobatan dari suku Indian.
Melihat istrinya berada
di panggung hukuman karena dosa perzinahan sementara sang istri lebih rela
menanggung aib dan noda itu seorang diri dengan bersikeras tak mau menyebutkan
nama pria yang telah melakukan dosa besar itu bersamanya membuat sang suami
bertekad menemukan si pria itu dan berniat membalas dendam pada mereka berdua
dengan caranya sendiri. Sang suami menemui Hester dan bayinya di penjara dengan
menggunakan nama lain. Di sini ia memaksa Hester untuk tak pernah mengungkapkan
pada siapapun bahwa ia adalah suaminya. Seperti Hester terus menyimpan nama
pria misteriusnya, sang suami memaksa Hester harus pula menyimpan rahasia akan
identitasnya. Ia tak memaksa Hester mengungkapkan jati diri si pria
misteriusnya itu karena ia bertekad akan menemukannya sendiri.
Roger Chillingworth,
identitas baru mantan suaminya di kemudian hari menjadi mimpi buruk bagi
Hester. Roger akhirnya berhasil mengetahui pria yang telah berselingkuh dengan
istrinya tersebut. Ia bersikap sebagai sahabat pria itu tapi sebenarnya ia
terus menyiksa batin pria itu yang memang sudah tersiksa oleh rasa bersalah dan
ketakberdayaannya untuk mengungkapkan dosanya. Sementara Hester setelah keluar
dari penjara hidup hanya berdua dengan putri kecilnya yang dinamainya Pearl di
sebuah pondok yang letaknya terasing dari komunitas lainnya. Namun kemampuan
menyulam Hester membuat Hester bisa diterima kembali dalam komunitas meski tak
seutuhnya. Ketabahan Hester dalam menjalani hukuman dosanya yang sepertinya
harus ditanggungnya seumur hidup, mengenakan sulaman huruf A merah menyala di
dadanya, membawa noda dan aib-nya itu di setiap langkah kehidupannya, ternyata
mulai mendapat simpati dari masyarakat sekitar yang semula begitu keras
padanya.
Suatu kali Hester
mengetahui bahwa petinggi di daerahnya berniat memisahkannya dengan anaknya.
Mereka berpendapat bahwa Hester si pendosa ini takkan dapat memberikan
pendidikan moral yang baik bagi putri kecilnya, Pearl. Hester tak rela
dipisahkan dengan putrinya yang kini sudah berumur tujuh tahun. Ia meminta
bantuan Arthur Dimmesdale, pendeta muda yang sangat dipuja dan dihormati
masyarakat di sana. Berkat kata-kata Pendeta Dimmesdale akhirnya putri Hester
tak jadi direnggut darinya.
Arthur Dimmesdale
sendiri memiliki luka dan beban sendiri. Sebagai rohaniwan muda, ia sangat
dipuja masyarakat Puritan di sana, tapi rupanya Dimmesdale memiliki sebuah noda
dosa yang mengikis kesehatan fisik dan mentalnya dari hari ke hari. Noda
dosanya ini demikian menyiksanya hingga sebagai pertobatannya ia menyiksa
dirinya sendiri dengan puasa, pantang bahkan mendera tubuhnya dengan
cambuk. Menjelang akhir cerita, Hester menyusun rencana untuk melarikan
diri dengan pria misteriusnya dan membangun kehidupan baru bersama putri kecil
mereka, Pearl. Tapi rencana mereka ini diketahui Roger Chillingworth.
Mereka akhirnya tak
pernah bisa melarikan diri seperti rencana mereka, tapi pria misterius yang
merupakan ayah biologis Pearl akhirnya mengakui dosanya di atas panggung
hukuman. Rupanya pula meski ia bersikap pengecut dengan membiarkan Hester
sambil mendekap bayi mereka berdiri di panggung kehinaan itu tujuh tahun
sebelumnya, tapi ia sudah membayar upah dosanya jauh lebih berat. Seperti
Hester yang mengenakan kain bersulam huruf A merah menyala di dadanya, ternyata
pria ini pun mengenakan huruf yang sama di dadanya walau tersembunyi di balik
jubahnya dan tak secara terang-terangan terlihat seperti milik Hester, namun
huruf A di dada pria ini bukanlah terbuat dari kain seperti Hester, melainkan
ia mematrinya di dalam daging di dadanya sendiri.
Dalam bab pembukaan
novel ini, sang penulis Nathaniel Hawthorne mengisahkan asal usul kisah di
balik novelnya ini yang bersetting kehidupan kaum Puritan New England yang
memiliki aturan keras terhadap norma-norma dan menegaskan bahwa kisah dalam
novelnya ini merupakan kisah nyata yang secara garis besar ditulisnya
berdasarkan dari dokumen yang ditemukannya di Kantor Pabean tempatnya bekerja.
Sang penulis ini
sendiri sebenarnya merupakan keturunan salah satu keluarga Puritan tertua di
New England, bahkan leluhurnya, William Hawthorne dan putranya, John merupakan
tokoh terkemuka yang membantai kaum Quaker dan tukang sihir di akhir abad
ke-17, tapi Hawthorne malah merasa tindakan-tindakan leluhurnya yang dianggap
agung dan mulia ini justru membebaninya akan perasaan bersalah pada
kelompok-kelompok yang telah dibantai leluhurnya tersebut, karenanya ia sangat
mengkritisi kemunafikan kaum Puritan yang jelas tergambar dalam tulisannya ini.
Pada bab penutup, si penulis menyampaikan
pesan moral dari novelnya ini adalah betapa pentingnya menjunjung nilai-nilai
kejujuran. Karena akar dari segala tragedi dari tulisannya ini adalah
ketidakjujuran yang menciptakan kesengsaraan para tokohnya. Akan hal dosa para
tokohnya tak sepenuhnya membuat pembaca berhak menghakimi karena penghakiman sejati
adalah milik Tuhan dan hanya Tuhan pulalah yang berhak menghukum. Hal ini
tergambar dari tokoh Roger Chillingworth yang merasa berhak menghukum dan
menyiksa si pendosa tapi sebenarnya pula ia tak lebih baik dari si pendosa itu
sendiri. Dan di mata surga, menurut kata-kata si penulis, kita semua adalah
pendosa. Hawthorne si penulis juga menyampaikan betapa tipisnya beda cinta dan
benci dan bahkan menurutnya, mungkin kebencian dan cinta pada dasarnya sama.
Novel Scarlet Letter ini dianggap sebagai karya terbaik Nathaniel Hawthorne.
Scarlet Letter merupakan salah satu karya sastra klasik Amerika.
D. Analisis
Novel Menggunakan Pendekatan Feminisme Radikal
Feminisme
radikal sendiri merupakan feminisme yang mempunyai dasar pemikiran Sistem
seks/jender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan. Feminisme ini
mengangkat isu-isu feminis tentang adanya seksisme, masyarakat patriarki.
Hak-hak reproduksi. Hubungan kekuasaan antra perempuan dan laki-laki (power
relationships). Dikotomi Private atau Public serta Lesbianisme. Mereka ingin
menyadarkan perempuan bahwa “perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka
sendiri”, mereka memiliki hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan
dengan tubuh mereka, termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi. Para feminis
radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki
terhadap perempuan.
Feminisme
radikal juga bertujuan untuk mengupas kehidupan masyarakat yang masih
mendiskriminasikan gender. Dalam novel Secarlet Letter ini kedudukan wanita
dianggap berbeda di bawah laki-laki dengan mengangkat masalah-masalah
feminisme, kebudayaan, agama serta perjuangan. Tokoh Hester Prynne
memperjuangkan hak-haknya yang dikemas dalam uraian cinta kasih yang terlarang.
Hidup dalam kaum Puritan New England yang memiliki aturan keras terhadap
norma-norma, tidak membuat Hester Prynne menjadi sosok perempuan yang taat
terhadap aturan-aturan norma agama pada saat itu. Dia dengan berani
mengkhianati pernikahannya dan ingin mencari kebahagiaannya karena ia merasa
kesepian mengingat suaminya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Selain itu
suaminya bertindak mendominasi terhadap istrinya. Seperti yang terlihat dalam
percakapan antara Hester Prynne dengan Roger Chilingworth berikut.
“
Apakah kau tidak akan menyingkap siapa dia? Baiklah aku akan melakukannya,”
kata pria itu dengan pandangan percaya diri, seolah-olah takdir berada
disampingnya. “Ia tidak mendapatkan huruf penghinaan di dadanya, seperti yang
kau dapatkan, tapi aku akan dapat membacanya dari hati. Jangan berpikir bahwa
aku akan ikut campur dengan metode Surga, atau mengetahuinya dengan hukum
manusia. Kau juga jangan berfikir bahwa aku akan menyerang hidupnya, ataupun
kemasyhurannya. Biarkanlah dia hidup! Biarkan ia menyembunyikan dirinya dalam
kehormatannya, bila ia ingin! Namun ia akan jadi milikku!” (hal 42)
Dalam
ungkapan Roger Chilingworth terlihat bahwa ia masih mendominasi istrinya. Hal
itu juga terlihat jelas dalam perkataan Roger Chilingworth berikut.
“Ini
mungkin,” katanya menjawab, “Karena aku tidak akan melukai kehormatan lelaki
yang istrinya tidak setia. Mungkin untuk alasan yang lain. Cukup, tujuanku
adalah untuk hidup dan mati tanpa dikenal. Biarkan semua orang beranggapan
bahwa suamimu telah mati. Jangan sampai mereka mengenaliku, dengan kata-kata,
tanda maupun tatapanmu! Jangan hembuskan rahasia, kepada pria yang kaulindungi!
Bila kau melanggar, awas! Kemasyhurannya, posisinya, hidupnya akan berada
ditanganku, kau harus berhati-hati!” (Hal 44). Dalam kutipan tersebut sangat
terlihat bahwa Hester Prynne sangat didominasi oleh suaminya. Terlihat dari
perkataan suaminya yang seperti sebuah ancaman. Dalam kutipaan tersebut juga
terlihat adanya Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap
perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas
anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi
juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Selain itu, terjadi pula proses Subordinasi
dimana perempuan berada di bawah kekuasaan lelaki. Laki-laki superior atas
perempuan.
Dalam
novel ini juga menyuarakan isu seksualitas, dimana tokoh perempuan Hester
Prynne dalam adat dan norma masyarakat Puritan yang sangat kental dengan norma
keagamaannya dengan berani dan bebasnya melakukan perbuatan perzinaan (seksual)
dengan seorang pendeta ternama Arthur Dimmesdale yang jelas-jelas bertentangan
dengan norma. Ketika dihukum untuk mengatakan siapa ayah dari bayi yang dia
kandung, Hester tidak menyebutkan sebuah nama. Bahkan diatas pemaksaan yang
dilakukan oleh para pemuka keagamaan, penjabat dan orang-orang penting lainnya,
Hester tetap kukuh untuk tidak mengatakan siapa nama pria yang telah
menghamilinya dengan alasan untuk melindungi pria tersebut. Ia merasa bebas
untuk melakukan apa yang ia inginkan walaupun karma sosial yang ia dapatkan
akan sangat kejam. Pemilihan untuk
melakukan hubungan seksual dengan beberapa lelaki pilihannya merupakan
sebuah pemberontakan terhadap kemapanan patriarki. Dia telah memilih untuk
memuaskan dirinya dengan tidur dengan lelaki lain walaupun ia sudah mempunyai
seorang suami. Dalam pemikiran feminis radikal, ketika telah merebut
kendali atas seksualitas perempuan, dengan menuntut hak untuk mempraktikan
apapun yang dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan, hubungan seksual
yang setara adalah yang saling memuaskan dan bernegoisasi untuk saling
memuaskan dengan cara apapun.
Feminisme
radikal dalam novel ini juga terlihat atas diskriminasi gender terhadap
perempuan yang meliputi kekerasan psikis terhadap tokoh Hester Prynne sebagai
akibat dari sanksi sosial yang sangat kejam atas perbuatan dosanya. Hukuman
sosial yang ia terima sangat kejam, ia dikucilkan dalam masyarakat dan menjadi
objek penghinaan. Setelah penghakiman atas perbuatannya, Hester tinggal
ditempat yang sangat menyakitkan. Tempat di mana orang-orang menghakiminya
terus-menerus, gagasan itu ingin menyeruak dalam diri Hester dan menertawakan
keputusaasaan yang dirasakannya. Ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa ini
adalah tempat dari kesalahannya, dan di sini adalah tempat dimana ia harus
menghadapi hukuman duniawi. Dan oleh karena itu ia merasa bahwa penghinaan yang
dirasanyakannya setiap hari akan dapat menyucikan jiwanya kembali.
Secara
terus-menerus dan dalam berbagai cara, ia merasakan penghinaan dan cemooh dari
kaum Puritan. Pendeta berhenti di tengah jalan dan berkhotbah, sementara
orang-orang berkerumun sambil menyeringai, mengelilingi wanita berdosa yang
malang itu. bila ia masuk gereja, berusaha untuk mnyebarkan senyum Sabbath pada
Tuhan, dialah yang kemudian menjadi objek khotbah. Ia bahkan dijauhi oleh
anak-anak, yang oleh orangtua mereka dipengaruhi untuk tidak berhubungan dengan
wanita yang penuh dosa tersebut... (Hal 54). Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa ada
kekerasan terhadap perempuan secara psikis terhadap tokoh Hester Prynne yang
mendapatkan tekanan psikis yang diberikan oleh masyarakat terhadapnya. Hukuman
tersebut tidak hanya dialami olehnya akan tetapi terima oleh Pearl, anak
perempuannya. Berkaitan dengan filosofi dan sejarah ideologi peran gender, dalam
kutipan tersebut terlihat bahwa tokoh Hester mengalami kekerasan berupa
serangan terhadap psikis atau mental. Novel ini juga menceritakan tentang
penderitaan tokoh yang harus diterima akibat dari perbuatan seksualnya.
Comments
Post a Comment