Susah Senang Jadi Anak Kosan: 'Ini Cerita tentang Teman Hidup di Semarang'
Hi, Marwa Wulansari.
Di sini, lewat tulisan ini, aku ingin mengajakmu kembali
menelusuri masa lalu. Aku percaya, kamu nggak butuh waktu lama untuk menerjemahkan
setiap kata. Mengubahnya menjadi sebuah film documenter tentang kita, meski hanya dalam benak mu saja. Ha-ha. Ya,
itu semua karena begitu banyak memori kita yang sama.
Nampaknya, kita punya satu radar yang saling menghubungkan. Hanya
dengan isyarat mata saja, kita mampu saling menerjemahkan maksud yang tersirat.
Duh, romantic sekali ya.
Pertama, aku ingin mengajakmu kembali ke sebuah ruangan yang
menjadi saksi bisu pertemuan kita. Tak saling sapa, tak kenal nama. Akhirnya,
kita tinggal bersama. Ha-ha takdir kadang selucu itu.
Masih teringat jelas di benakku, senyummu yang begitu ramah menyapa kedatanganku bersama orang tua ku kala itu. Di tengah-tengah perbincangan yang di dominasi oleh ayahku, kamu dan kakakmu. Tiba-tiba, benang merah yang dinamai takdir mulai menampakkan dirinya. Ya, tiba-tiba kamu bilang “Mau tinggal di sini juga Pak? Kebetulan saya sendirian. Sekamar sama saya saja,” kata mu, masih dengan senyuman yang selalu mengembang itu.
Petemuan 6 tahun yang lalu, menjadi awal kita menjalani
bertahun-tahun berikutnya bersama.
Berikutnya, yuk kita kembali ke ingatan bagaimana susah
senang yang kita lewati bersama di masa kuliah. Oh ya, kebetulan kita satu
fakultas yang sama, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro. Takdir memang
banyak berpihak pada pertemuan kita. Kita berdua sama-sama anak sastra. Aku,
Sastra Indonesia dan kamu Sastra Inggris.
Meski, peminatan yang kita ambil juga berbeda, aku ambil Linguistic dan kamu American Cultural Studies. Tapi tetep aja gitu, kamu adalah tempat
paling nyaman untuk berdiskusi tentang apa pun itu. *eak. Mulai dari tugas,
materi kuliah sampai diskusi tentang ‘sore
ini minum teh atau kopi?,’.
Duh, nggak akan habis kata deh buat nyeritain kisah kita. Masih inget nggak? Awal kuliah dulu, kita kemana-mana selalu jalan kaki, pas Ospek pun, kita ke kampus jalan kaki. Bodohnya, ke FIB aja kita muterin Widya Puraya dulu. Jalan kaki lagi. Pakai sepatu Pantofel yang nggak nyaman sama-sekali, rok span hitam yang begitu kesempitan. Bangun pagi cuma sarapan pakai nasi dan kering tempe karena nggak sempet mampir ke warteg.
Oh, ya. Kita pernah jalan kaki jauh banget cuma buat beli
minuman, karena galon habis malem-malem.
Mana jalan sambil nenteng 4 Aqua ukuran 1,5 liter. *nangis kejer kalo inget
Waktu itu belum nemu kontak tukang galon raditya dika yang hobi nongki di depan
kamar kita. Wk-wk. Tukang galon yang slowrespon
tapi kalo yang nge-chat kita, tiba-tiba nonggol di depan kamar.
Ngomongin perkara galon, inget nggak sih, hidup susah kita
di masa semester 5-an. Inget nggak, kejadiannya di dapur kamar kita. Pas itu,
kita berdua berdiri di depan wastafel. Niatnya mau ambil minum, sambil ngobrol
ngalor-ngidul. Tiba-tiba, pas mau nuang air ke galon kita inget kalo galonnya
habis. Diem berdua. Nggak ada yang berkata-kata. Sambil mandang galon dengan
tatapan nanar. Krik.. krik…
“Tau nggak mbk?,” kata ku memecahkan keheningan. Masih sambil
liatin galon, ya.
Kamu natap, melupakan eksistensi galon kita yang kosong,
menunggu kata berikutnya dariku.
“Uangku tinggal 2.000, Ha-ha,” ungkap ku dengan ketawa
tragis dan hambar.
Lalu, kamu melakukan hal yang sama, “ Tau nggak raf?,” Tanya
mu, “ Uangku juga tinggal 5.000,” ungkap mu diselingi tawa.
“HAHAHAHAHAHA,” dan akhirnya kita menertawakan kejadian
tragis ini bersama. Bahkan, pernah lo kita nggak kelar beli galon. Ya, cuma bersama
mu, aku lupa kenyataan bahwa hidup itu penuh penderitaan.
Kita sama-sama tak pernah mengandalkan uang saku dari orang
tua. Dan yang tau susahnya ya cuma kita berdua. Paling sedih kalau dapat uang
transferan tapi habis sebelum jatah berikutnya. Tapi kita sama-sama belajar,
buat nggak gampang minta kalau nggak benar-benar terpaksa.
Dari uang 2.000 itu, aku belajar bagaimana memasrahkan hidup kita kepada Tuhan. Ya, rezeki sudah ada yang atur. Asal kita mau meminta dan berusaha. Pasti ada jalan, nyatanya kita nggak pernah kelaparan. Haha
Lagi yuk, yang terakhir di episode kali ini. Ketika kita jadi
mahasiswa nanggung, yang hampir tua. Kamu anak organisasi yang hidupnya di
kampus dan tempat kerja part time. Dan
aku anak mageran yang kerjaanya cuma tiduran di kamar, baca novel, kalau nggak
ya main-main ke plosok Semarang. Kontras kan? Sampai kadang, ketika kamu pulang
dari aktivitas mu, aku masih berada di posisi tiduran yang sama.
Nggak makan, nggak beranjak, nggak mandi, nggak
ngapa-ngapain. Malemnya, kamu pulang kerja, akunya pergi main. Ha-aha. Sampai di
satu titik, aku ngerasa jenuh dan memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan
di sela-sela kuliah.
Dari situ, aku makin belajar, bagaimana cara menghargai
waktu dan uang. Ngerasain gimana susahnya kerja keras siang malam. Belajar. Bagi
waktu kuliah, kerja, main nggak boleh ketinggalan sih pastinya.
Duh, masih banyak kebiasaan ajaib kita yang ingin aku tulis
dan dibaaca bersama. Aku takut, memoriku terbatas dimakan usia. Aku takut
kenangan indah kita nggak tersisa. Berikutnya, akan kubuat cerita lainnya.
Terharu membaca ini, Rafida. Miss you so much, my sister. Bali sounds good nih, kita jelajahi pulau dewata bareng, mari kita agendakan. :')
ReplyDeleteNggak sabar nunggu travelling bareng 😍
DeleteTerharu bacanya sambil bayangin dulu aq sama surwati...😍😚
ReplyDeletehaha ayo tulis juga dong kisah kalian :'))
Delete