CERPEN: Kosong





Terkadang, merasa sakit karena patah hati jauh lebih baik, dibandingkan ketika kamu tidak bisa merasakan perasaan apa pun lagi. 

****



Alunan musik di Coffee shop menjadi satu-satunya suara yang menemani heningku menunggu kehadiran Rey. 

Sampai datang rombongan perempuan yang tiba-tiba mendominasi semua suara di tempat itu. Alunan musik masih samar-samar terdengar di antara perbincangan mereka tentang mantan, sampai tentang temannya yang diduga menjadi perusak hubungan entah siapa.

Tanpa sadar, lamunanku mengikuti alur pembicaraan mereka. Setelah ini, hal yang ingin aku lakukan hanyalah memaki Rey. Berkat kebiasaan telatnya, aku harus merelakan emosiku terbawa dalam pembicaraan orang, yang bahkan namanya saja aku tak tau.

Earphone, satu-satunya alat penyelamat dari pergibahan sekawanan ini bahkan ikut tertinggal. Haruskah aku sumpel telingga ini dengan selembar tisu yang diberikan oleh pelayan bersama dengan kopi yang aku pesan tadi.

Tapi, sialan. Tanpa sadar, aku menikmati perbincangan mereka. Seperti tengah menonton sinetron yang biasa ditonton ibu kosan

“Aduh, maaf. Udah nunggu lama ya?,” tepukan Rey di pundakku berhasil membuyarkan atensiku. Padahal, pembicaraan sekawan perempuan tadi lagi seru-serunya, berhasil membuat ikut serta merencanakan strategi melabrak sang pelakor. Rey double sialan.

Dia duduk di depanku dengan tatapan yang benar-benar sialan. Tak perlu melihatnya saja aku sudah hapal di luar kepala. Tatapan melas yang sama sekali tidak berguna lagi untuk membuatku memaafkannya. 30 menit yang harus aku korbankan dalam lamunan.

“YA… YA ..,” ucapku sambil memutar bola mata, terlalu malas menanggapinya.

*****

Musik kembali terdengar, membawakan salah satu lagu Blackpink berjudul Pretty Savage. Tanpa terasa, 45 menit berlalu semenjak Rey datang. Perbincangkan kita masih sama saja. Seputar kerjaan yang nggak akan ada habisnya.

Sudah tujuh tahun lebih aku mengenal pria yang hobi sekali telat ini. Kita pernah berada di satu kampus yang sama. Lalu dipertemukan kembali sebagai rekan kerja.

Berkat dia, aku bisa menghemat uang bensin saat kuliah. Berkat aku, dia bisa terbebas dari segala tugas ketika kuliah. Sialan memang, dia dengan jiwa malasnya, selalu memperbudakku untuk memanipulasi daftar hadir perkuliahan.

Dentingan yang dihasilkan sedok dan piring milik Rey, berhasil mengembalikan jiwaku yang tengah berkelana ke masa lalu.

Sambil menunggu Rey menghabiskan makan siangnya, atensiku kembali ke sekawan perempuan di sisi kanan. Dari penampilannya, dan beberapa cerita sentilan yang berhasil kudengar dari mereka. Tanpa sengaja, tentunya. Aku bisa menyimpulkan, mereka masih mahasiswa.

Samar-samar, aku mendengar lagi curhatan patah hati mereka. Meratapi nasib salah satu anggota mereka yang menjadi korban perselingkuhan. Curhatan yang terlalu keras, bahkan barista di ujung pintu masuk pun bisa mendengar mereka. Biasalah, wanita suka lepas kontrol ketika bertemu dengan sekawannya. Ha ha ha.

Ternyata pendengar curhatan mereka bertambah, Rey ikut bergabung mendengarkan dalam diam. Setelah sadar, kita saling menatap dan tertawa keras penuh arti.

“Aku pikir, kadang rasa sakit karena patah hati itu lebih baik daripada tidak bisa merasakan apa pun lagi,” "Hampa," rangkaian kata yang aku keluarkan sebagai pembuka topik diskusi baru bersama Rey.

“Haha, kamu baru sadar? Benarkan kataku saat itu? Jatuh cinta dan patah hati adalah nikmat yang selalu dipandang berbeda. Jatuh cinta itu indah. Kata siapa pun itu, penulis, penyanyi, bahkan semua orang setuju dengan itu. Tapi jarang tuh, lagu atau puisi yang bilang 'patah hati adalah hal terindah dalam hidupku',” kata dia sambil menyeruput secangkir kopi yang baru dipesannya lagi.

Cangkir kedua yang kita pesan untuk mendampingi perbincangan ini.

“Aku ingin merasakan patah hati lagi. Biar bisa produktif bikin karya. Ha-ha-ha,” jawabku.

Aku kadang merasa jika patah hati memberiku banyak inspirasi untuk berkarya. Bahkan membuatku semangat melakukan hal-hal positif demi memperbaiki diri.

Rey mengangguk sebagai tanda setuju, sambil menuangkan gula ke dalam secangkir cappuccino hangat miliknya. 

Lalu kembali menatapku dan berkata, “Kenapa harus patah hati? Kenapa nggak jatuh cinta lagi aja?,”

Para perempuan berisik tadi keluar kafe bersama dengan pertanyaan Rey. Membuat atensiku teralih ke mereka lagi.

 “Aku pensiun jatuh cinta lagi Rey, kau tau itu,” kataku serius masih dengan menatap segerombol perempuan yang sangat sangat rempong dan berisik hanya sekedar untuk keluar Coffee shop. Keterlaluan.

“Hanya untuk bertahan mencintai orang yang tak pernah melihatmu. Ha-ha-ha,” ledeknya.

Aku tak menjawab, pun tak beralih menatapnya.

“Sampai kapan?” tanyanya dengan nada yang berubah menjadi sangat serius.

Aura dinginnya seolah memaksaku untuk menjawab itu.

Entahlah, suasana awal yang ceria dan berisik di kafe itu berubah. Alunan musik bahkan terdengar begitu samar.

“Kamu nggak akan tau,” dia menungguku melanjutkan kalimat berikutnya, seolah paham tatapanku yang ingin sekali menjelaskan.

“Hahhhhh,” “Cinta itu perasaan, perasaan nggak butuh status kepemilikan. Sempit sekali harus mengartikan cinta itu berarti harus bersama,” lanjutku.

Kopi di depanku mulai mendingin, seolah ingin mengakhiri pembicaraan ini. Cukup sampai di sini.

“Kamu nggak akan tahu,” aku benar-benar ingin mengakhiri pembicaraan ini.

“Siapa bilang, aku sangat tau,”. Sialan. Rey tetap melanjutkan obrolan ini. Ya, sebenarnya aku tau, Rey sampai saat ini merasakan hal yang sama seperti yang aku ucapkan.

Sudah sejak lama, dia mencintai seseorang yang bahkan sudah berbeda dunia, dan tak mungkin bisa dimiliki. Kini kita seperti dua orang korban patah hati, yang mencoba berbagi rasa sakit yang sebenarnya kita nikmati.

“Sudahlah Rey, biarkan dia pergi dengan tenang. Masih banyak perempuan di luar sana, kamu juga bisa mulai jatuh cinta lagi,” aku mencoba menasehati Rey dengan nasehat basi yang dikatakan setiap teman ketika mendapat curhatan patah hati teman lainnya.

Terlalu malas memikirkan nasehat lain yang lebih bijak. Tanpa terasa, emosiku benar-benar terkuras. Lelah jiwa dan raga membuatku menyandarkan tubuh ke kursi kafe.

“Hahaha,” dia tertawa hambar yang sungguh sangat tidak enak di dengar. Kali ini kita berdua benar-benar terlihat mengenaskan.

“Aku udah berulang kali mencoba jatuh cinta lagi. Sialnya, lagi-lagi, aku jatuh pada orang yang sama,” lanjutnya.

Kopi yang kita nikmati telah habis tak tersisa. Sepertinyaobrolan ini nggak lama lagi. Aku ingin segera pulang. Kali aja, kena angin di jalan bisa membuat pikiranku sedikit lebih segar.

Ternyata aku salah, pertemuan ini salah. Topik pembicaraan terakhir yang aku jadikan sebagai awal diskusi pun salah.

Ini menjadi momen terakhir kali aku menemani Rey makan siang. Kedai kopi menjadi saksi bisu yang membuatku ikut terbisu.

“Aku mencintaimu, bukan dia yang udah mati yang nggak bisa aku miliki. Tapi seseorang yang selalu di depanku, tapi tidak menyadari kehadiranku. Aku cuma nggak pengen, nantinya, kamu merasakan hal yang sama. Kamu terlalu berharga untuk berakhir sia-sia. ” Kalimat terakhir yang menjadi penutup pertemuan kita. Bahkan mungkin untuk kedepannya. 

 

*******************************************

Comments

Post a Comment