Analisis Puisi Berdasarkan Teori Lapis Norma Roman Ingarden dan Struktur Pembentuk Puisi
Puisi
1 :
Berpaling
Bagaimana kita bisa berbicara
tentang dosa dan pahala
sedang hati dicabik
otak dikoyak koyak
nurani dibunuh
dipenjara
mati
bisu
Bagaimana kamu bisa berfatwa
tentang neraka dan sorga
kalau asyik sandiwara
kalau pura-pura
menghardik
angkara
Berhentilah engkau merayu
mencumbu gadis kulit kudisan
dengan mantera picisan
engkau bukan apa-apa
hanya sandiwara
durjana
nista
sudahlah!
Karya : Toto Tasmara
dalam buku Menjawab Tantangan Zaman
Puisi II :
Hanya Kau
Hanya kau yang kupilih, di antara segala isi dunia;
Akankah kaubiarkan aku duduk berduka?
Hatiku tak lain pena di sela jari-jarimu,
Kaulah penyebab gembira atau sedihku.
Selain dari yang kau inginkan, apa pula yang
kudapat?
Selain dari yang kau tunjukkan apa pula yang
kulihat?
Dalam diriku, kau tumbuhkan terkadang duri,
terkadang mawar;
Dan kucium bau mawar, dan kucabut duri;
Kalau memang kau biarkan aku begitu, begitulah aku;
Kalau kau biarkan aku begini, beginilah pulalah aku.
Dalam jiwa tempat jiwa kucelup warna
Siapa pula aku, apa gerangan cintaku dan benciku?
Kaulah yang pertama, dan yang terakhir jugalah kau
nanti;
Jadilah penghabisanku lebih bermakna dari pertamaku.
Apabila kau sembunyi, akulah kafir;
Apabila kau mewujud, aku si setia.
Aku tak memiliki apa pun selain yang telah kau
berikan padaku;
Apa pula yang kaucari di balik dada dan lengan
bajuku?
Karya
: Jalaluddin Rumi
Analisis
Puisi Berdasarkan Teori Lapis Norma Roman Ingarden dan Struktur Pembentuk Puisi
A. Teori Lapis Norma Roman Ingarden
·
Puisi I (Berpaling)
1. Lapis
Suara
Larik pertama, terdapat bunyi asonasi
/a/ seperti pada kata bagaimana, kita, bisa serta pada kata bicara,
keempat kata tersebut saling berdampingan dan memiliki asonasi vokal /a/ yang
masing-masing terdapat di akhir barisan katanya. Dalam larik pertama juga
terdapat asonasi bunyi /i/. “Bagaimana kita bisa bicara”.
Larik kedua, terdapat bunyi asonasi /a/
yang terletak di akhir barisan kata dosa dan pahala. Larik ketiga,
terdapat asonasi bunyi vokal /i/ pada kata hati dicabik. Larik keempat,
terdapat aliterasi bunyi /o/ pada kata otak di koyak-koyak. Larik kesembilan, terdapat asonasi vokal /a/
pada akhir barisan tiap katanya, seperti pada kata bagaimana, bisa, berfatwa.
Larik kesepuluh, terdapat asonasi /a/
yang terdapat di akhir kata pada kata
neraka dan sorga. Larik keduabelas terdapat asonasi /u/ pada kata kalau
pura-pura. Larik limabelas, terdapat asonasi /u/ pada akhir kata engkau
merayu. Pada larik ke enambelas, terdapat aliterasi /k/ pada kata kulit
kudisan. Pada larik ini juga terdapat asonasi /u/ pada kata mencumbu,
kulit dan kudisan. Larik ke tujuhbelas, terdapat asonasi /a/ serta
aliterasi /n/ pada kata dengan mantera picisan. Larik kesembilan belas,
terdapat asonasi /a/ yang terdapat pada
kata hanya sandiwara.
Pada puisi tersebut yang paling dominan
adalah asonasi /a/. Pola sajak pada bait pertama adalah aa-aa.
2. Lapis
Arti
Bait pertama yang terdapat dalam puisi
ini mempunyai arti bahwa kita tidak akan bisa berbicara mengenai kebenaran,
tentang dosa dan pahala, jika hati serta otak kita sendiri masih belum tertata
rapi, dikoyak-koyak. Kita juga tidak akan mampu bicara tentang dosa dan pahala
jika hati nurani kita terbunuh dalam artian
terpenjara, mati dan bisu.
Kata terpenjara, mati, serta bisu
tersebut terletak dalam suatu larik tersendiri. Hal tersebut seolah-olah
menguatkan bahwa nurani tersebut sudah benar-benar mati dan tidak mampu lagi
melihat kebenaran membedakan antara dosa dan pahala.
Pada bait kedua, mempunyai arti bahwa
kita tidak akan mampu memberikan fatwa atau menasehati tentang neraka dan
surga, ketika kita masih asyik dalam kepalsuan yang menipu, kalau kita masih
berpura-pura. Kata menghardik sendiri dapat dimaknai membentak-bentak atau
berkata kasar dan kata angkara seolah menegaskan bahwa kita tidak bisa
menasehati mengenai surga dan neraka jika kita sendiri masih berbuat
kebengisan.
Bait ketiga dapat diartikan sebagai
perintah untuk berhenti merayu atau membujuk dengan kata-kata manis, pada larik
mencumbu gadis kulit kudisan dapat diartikan bahwa merayu gadis murahan,
karena kudisan dapat diartikan sebagai suatu penyakit kulit yang mengerikan.
Merayu dengan perkataan yang manis. Sadarlah, engkau bukan apa-apa hanya sandiwara
atau kepura-puraan yang hina.
Pada bait terakhir terdapat kata
“sudahlah!” yang seolah memberi arti bahwa penulis mulai lelah dengan
kenyataan-kenyataan diatas dan memerintahkan untuk berhenti mengurus dunia yang
fana ini.
3. Lapis
Dunia Pengarang
Baris pertama, fokus perhatian pengarang
adalah bisa berbicara, objek perhatiannya adalah berbicara. Pada baris kedua,
fokus perhatiannya adalah dosa dan pahala. Objek perhatiannya adalah dosa dan
pahala. Baris ketiga, fokus perhatiannya adalah hati di cabik. Objek
perhatiannya adalah hati dan dicabik. Baris keempat, objek perhatiannya adalah
otak dan dikoyak-koyak. Baris kelima, enam, tujuh dan delapan, masing-masing
objek perhatiannya adalah nurani, penjara, mati dan bisu.
Pada bait kedua baris pertama, objek
perhatiannya adalah fatwa. Larik kedua, neraka dan surga. Baris ketiga, objek
perhatiannya adalah sandiwara. Pada baris keempat, kelima dan keenam objek
perhatiannya berturut-turut adalah pura-pura, menghardik, angkara.
Pada bait ketiga, baris pertama objek
perhatiannya adalah merayu. Pada baris kedua objek perhatiannya adalah gadis
dan kulit kudisan. Baris ketiga, objek perhatiannya adalah mantera dan picisan.
Baris lima, enam dan tujuh secara berurutan objek perhatiannya adalah
sandiwara, durjana dan nista.
Pelaku atau tokoh dalam puisi ini adalah
kata ganti ‘kita’, ‘kamu’ dan ‘engkau’. Waktu : kehidupan zaman sekarang ini.
Latar : dunia ini. Jadi, pada bait pertama ditujukan untuk tokoh ‘kita’ bahwa
kita tidak bisa berbicara tentang kebenaran kalau hati nurani kita sudah mati.
Pada bait kedua ditujukan untuk tokoh ‘kamu’
bahwa kamu tidak akan bisa menasehati tentang surga dan neraka dalam hal
ini juga menyangkut kebenaran kalau kita sendiri masih asyik bersandiwara. Pada
bait ketiga ditujukan untuk tokoh ‘engkau’ yang merupakan perintah untuk
berhenti merayu dan bermain-main di dunia ini. Dan kata terakhir penggarang
menuliskan ‘sudahlah’ untuk menyuruh berhenti melakukan hal-hal yang membuat
kita berpaling dari-Nya.
4. Lapis
Dunia
Lapis dunia yang bermakna implisit dalam
puisi tersebut adalah bahwa di kehidupan ini tidak ada yang kekal, ada baiknya
kita saling menasehati dalam kebenaran dan kebaikan. Zaman sekarang ini banyak
orang-orang yang mulai berpaling dari Tuhannya, nurani mereka telah mati, mereka
mulai lupa dan asyik pada dunianya. Asyik bersandiwara, bersenang-senang dalam
hal duniawi yang merupakan kesenangan sesaat.
5. Lapis
Metafisis
Dalam sajak ini lapis metafisisnya
adalah kekhawatiran pengarang terhadap kehidupan sekarang ini. Dimana manusia
semakin jauh dari Tuhan mereka.
·
Puisi II (Hanya
Kau)
1. Lapis
Suara
Baris pertama pada puisi ini terdapat
asonasi /i/ dan /a/ pada kata di antara segala isi dunia. Baris kedua,
terdapat asonasi /u/ pada kata aku duduk berduka. Baris keempat terdapat
asonasi bunyi /a/ sebagaimana kata gembira yang diakhiri vokal /a/ lalu
disambut oleh vokal /a/ pula pada awal kata atau. Pada baris kesembilan
terdapat asonasi /u/ pada kata begitu, begitulahaku. Pada baris ke
sepuluh, terdapat asonasi /i/ pada kata begini, begini. Pada bait ke dua
belas, terdapat asonasi bunyi /u/ dan aliterasi /k/ pada kata cintaku dan
benciku. Baris ke delapanbelas, terdapat asonasi /i/ pada kata kaucari
di balik.
2. Lapis
arti
Pada baris bertama tokoh ‘aku’
mengungkapkan bahwa di antara segala isi dunia dia hanya memilih ‘engkau’.
Baris kedua mempunyai makna tokoh ‘aku’ mempertanyakan apakah dia akan engkau
dibiarkan berduka? Padahal dari seisi dunia ini ia sudah memilihmu. Baris
ketiga, hati tokoh ‘aku’ hanyalah sebatas pena yang engkau pegang di sela
jari-jarimu. Baris keempat, kaulah penyebab gembira atau sedihnya tokoh ‘aku’.
Baris ke lima, tokoh ‘aku’ hanya mendapatkan apa yang diinginkan tokoh ‘kau’.
Baris keenam, tokoh aku tidak akan melihat selain apa yang kau tunjukkan. Baris
ketujuh, dalam diri tokoh ‘aku’ terkadang kau tumbuhkan duri, terkadang juga
mawar. Baris kedelapan, tokoh ‘aku’ mencium bau mawar itu, dan berusaha
mencabut durinya. Baris kesembilan, kalau kaubiarkan tokoh ‘aku’ begitu, maka
begitulah. Kesepuluh, jika kau biarkan aku begini, begini pulalah aku. Dalam
jiwa kau celupkan warna. Baris keduabelas, tokoh ‘aku’ mempertanyakan siapa
dirinya, dan kebimbangannya tentang cintanya dan bencinya. Pada baris
ketigabelas, tokoh ‘aku’ menegaskan bahwa ‘kau’ adalah yang pertama, dan akan
jadi yang terakhir. Pada baris keempatbelas, tokoh ‘aku’ berharap
penghabisannya lebih bermakna daripada pertamanya. Baris kelimabelas, ia
menyebutkan bahwa apabila tokoh ‘kau’ bersembunyi, maka ia kafir. Dan apabila
tokoh ‘kau’ mewujud maka, ia akan setia. Pada baris ketujuhbelas, tokoh ‘aku’
tidak memiliki apapun kecuali yang tokoh ‘kau’ berikan. Dan pada baris terakhir
tokoh aku bertanya apa yang kaucari di balik dada dan lengan bajuku?.
3. Lapis
dunia pengarang
Pada
puisi ini terdapat objek-objek yang dikemukakan yaitu, berduka, disela
jari-jarimu, gembira atau sedihku, duri, mawar, jiwa kaucelup warna, cintaku
dan benciku, penghabisan, kafir, setia, di balik dada. Tokoh dalam puisi ini
adalah ‘aku’ dan ‘kau’. Latar waktu, terjadi pada sekarang ini. Jadi, alur
puisi ini adalah ketika tokoh ‘aku’ membuat pengakuan bahwa dari seisi dunia ia
hanya memilih ‘kau’. Lalu toko aku menceritakan bahwa tokoh ‘kau’ adalah
penyebab gembira dan sedihnya, alasan ia melihat dan merasakan harumnya bau
mawar sampai sakitnya tertancap duri. Pada akhirnya tokoh ‘aku’ mengatakan
bahwa ia tidak memiliki apapun di dunia ini selain apa yang toko ‘kau’ berikan.
4. Lapis
Dunia
Makna implisit yang tertuang dalam puisi
tersebut adalah bahwa sang tokoh dalam puisi tersebut sangat cinta terhadap
Tuhannya. Jadi, tokoh ‘kau’ dalam puisi tersebut adalah Tuhan. Hal itu
diperkuat dengan faktor sosiologis pengarang yang merupakan seorang Sufi yang
sangat taat terhadap Tuhannya. Puisi ini menceritakan bahwa tokoh aku lebih
memilih Tuhannya dari pada dunia dan seisinya. Ia menyebutkan bahwa hatinya tak
ubahnya sebuah pensil yang dipegang oleh Tuhan. Tuhan lah yang
menggerak-gerakkan hatinya. Tuhan pula lah yang menjadi alasan tokoh ‘aku’
merasa gembira atau sedih. Ia juga menyebutkan pada baris kelima dan keenam
bahwa, tokoh ‘aku’ ini sangat taat
kepada Tuhannya hingga dia hanya melihat apa yang Tuhannya tunjukkan dan hanya
melakukan apa yang Tuhan-nya inginkan dan perintahkan.
Pada baris ketujuh dan kedelapan,
mempunyai arti bahwa terkadang Tuhan memberikan bunga mawar yang berarti
kebahagiaan namun terkadang Dia menancapkan duri yang merupakan cobaan atau
penderitaan. Namun, tokoh ‘aku’ selalu mensyukuri apa yang Tuhan berikan,
bahkan ketika ia mendapatkan cobaan ia mencoba untuk mencabut rasa penderitaan
itu dan bangkit kembali. Tokoh ‘aku’ sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki
padanya. Tuhan-nya yang pertama, dan yang terakhir pula bagi tokoh ‘aku’. Tokoh
‘aku’ ingin agar ia selalu menjadi lebih baik, dia berharap akhir kehidupannya
lebih baik dari pada awal ia hidup. Tokoh ‘aku’ akan menjadi kafir atau bisa
berarti lupa kepada Tuhan-nya, ketika Tuhan-nya atau tanda Kebesarannya tidak
nampak padanya. Namun, ia adalah yang paling setia atau selalu mengingat
Tuhan-nya jika nampak tanda Kebesaran-Nya. Semua dalam hidupnya adalah milik
Tuhan-nya.
5. Lapis
Metafisis
Ungkapan cinta pengarang terhadap
Tuhan-nya. Bahwa ia mencintai Tuhan-nya lebih dari apapun yang ada.
B. Teori Struktur Pembentuk Puisi (Surface Structure
and Deep Structure)
·
Puisi I
1. Struktur fisik (surface structure)
a. Perwajahan
puisi (tipografi)
Pada puisi diatas mempunyai bentuk yang
semakin menjorok ke dalam pada tiap barisnya. Membentuk sebuah segitiga. Selain
itu, pada setiap awal barisnya tidak menggunakan huruf kapital, pada akhir
baris juga tidak terdapat tanda baca.
b. Diksi,
v Blank symbol
Pengarang menggunakan beberapa pilihan
kata yang sudah sangat familier menurut saya. Seperti pada kata dosa dan pahala
yang mewakili makna kejahatan dan keburukan atau mencakup makna tentang
kebenaran. Selain itu, pada kata neraka dan surga, sandiwara, nurani,
menghardik, nista, angkara, durjana.
v Natural symbol
Pengarang tidak memilih natural symbol
dalam diksinya.
v Private symbol
Terdapat private simbol dalam puisi ini
seperti pada kata gadis kulit kudisan. Hanya pengarang lah yang tahu pasti apa
makna dari pemilihan kata ini.
c. Rima
dan irama
Dalam bait pertama puisi ini terdapat
rima aa-bb, seperti pada;
Bagaimana kita bisa berbicara
tentang dosa dan pahala
sedang hati dicabik
otak dikoyak-koyak
Selain itu, pada bait kedua terdapat
rima aa-aa;
bagaimana kamu bisa berfatwa
tentang neraka dan surga
kalau asyik sandiwara
kalau pura-pura
Dalam puisi ini juga terdapat banyak
asonasi dan aliterasi. Namun, yang paling mendominasi adalah asonasi /a/,
seperti yang telah dijelas kan dalam analisis lapis bunyi diatas.
Irama dalam puisi ini seperti sebuah
kegelisahan dan kekhawatiran.
2. Struktur batin (deep structure)
a.
Tema
Tema puisi ini adalah tentang realita
kehidupan manusia yang semakin jauh dari Tuhan-nya (berpaling).
b.
Rasa
Dalam hal ini pengarang merasakan
kekhawatiran terhadap kehidupan yang semakin memprihatinkan ini. Ia merasa
manusia semakin tidak punya arah dan pegangan sehingga mereka lupa dan terlalu
bersenang-senang dalam hal duniawi.
c.
Nada
Penulis menggunakan nada bertanya dan
memerintah untuk menyampaikan maksud dan keinginannya. Seperti penggunaan kata
tanya ‘bagaimana’ pada awal bait pertama dan kedua. Serta kata ‘berhentilah’
yang mempunyai nada memerintah, hal itu diperkuat dengan kata ‘sudahlah!’ yang
terdapat tanda seru diakhir katanya.
d.
Amanat
Jangan lah terlena terhadap kehidupan
dan kesenangan duniawi yang hanya sandiwara semata.
·
Puisi II
1. Struktur fisik (surface structure)
a.
Perwajahan puisi
(tipografi)
Pada
puisi kedua ini perwajahan puisi tidak di pisahkan menjadi bait-bait. Setiap
barisnya terisi penuh. Selain itu, pada kata setiap barisnya diawali dengan
huruf kapital. Pada akhir barisnya juga terdapat tanda baca (,),(.) dan (;).
b.
Diksi,
v Blank symbol
Pengarang menggunakan beberapa pilihan
kata yang sudah sangat familier menurut saya. Seperti pada kata mawar dan duri
yang mewakili makna kebahagiaan dan penderitaan. Selain itu, pada pemilihan
kata pena, warna, kafir dan setia.
v Natural symbol
Pengarang tidak memilih natural symbol
dalam diksinya
v Private symbol
Pengarang tidak memilih private symbol
dalam diksinya
c.
Rima dan irama
Pada puisi kedua ini memilik rima yang
tidak berarturan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam analisis lapis bunyi
diatas, puisi ini juga terdapat asonasi dan aliterasi. Baris pertama pada puisi
ini terdapat asonasi /i/ dan /a/ pada kata di antara segala isi dunia.
Baris kedua, terdapat asonasi /u/ pada kata aku duduk berduka. Baris
keempat terdapat asonasi bunyi /a/ sebagaimana kata gembira yang
diakhiri vokal /a/ lalu disambut oleh vokal /a/ pula pada awal kata atau.
Pada baris kesembilan terdapat asonasi /u/ pada kata begitu, begitulahaku.
Pada baris ke sepuluh, terdapat asonasi /i/ pada kata begini, begini.
Pada bait ke dua belas, terdapat asonasi bunyi /u/ dan aliterasi /k/ pada kata cintaku
dan benciku. Baris ke delapanbelas, terdapat asonasi /i/ pada kata kaucari
di balik
2. Struktur batin (deep structure)
a. Tema
Tema dalam puisi ini adalah rasa cinta
yang begitu besar terhadap Tuhan.
b. Rasa
Penggarang mengungkapakan rasa cintanya
kepada Tuhan-nya, bahwa ia lebih memilih Tuhan-nya dari semua yang ada di dunia
ini. Dia juga memiliki rasa ikhlas yang sangat besar hal itu dibuktikan pada
baris ke delapan, bahwa ia akan mencium bau mawar dalam arti kebahagiaan yang
Tuhan berikan kepadanya. Dan ia pun akan mencabut duri yang Tuhan berikan
kepadanya.
c. Nada
Penyampaian maksud dan tujuan pengarang
dalam puisi ini di sampaikan dengan nada mempertanyaakan. Bahwa ia sudah
melakukan apapun yang di perintahkan-Nya.
d. Amanat
Cintailah Tuhan-mu lebih dari apapun di
dunia ini. Jangan pernah mengelukan apa yang telah Tuhan berikan kepadamu.
Lakukanlah apa yang diperintahkan-Nya dan yakinlah apa yang kau miliki adalah
milik-Nya.
Sumber :
An-nadwi, abdul hasan.Jalaluddin Rumi
Sufi Penyair Terbesar, terj.M.Adib
Bisri, Jakarta : Temprint, 1986.
Tasmara, toto.Menjawab
Tantangan Zaman.Jakarta: Jami’atul Ikhwan,
Comments
Post a Comment