Resensi Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika
Bulan Terbelah di Langit Amerika
Judul : Bulan Terbelah di Langit
Amerika
Pengarang : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Umum
Novel ini menceritakan mengenai
latar belakang peristiwa Black Tuesday, 11 September 2001 yang telah
meruntuhkan menara kembar gedung World Trade Center. Setelah peristiwa itu
terjadi tidak dapat dipungkiri adanya peningkatan rasa kebencian dan permusuhan
terhadap umat muslim di seluruh dunia. Meskipun sudah lama berlalu, peristiwa
Black Tuesday masih terekam dalam ingatan kita. Amerika dan Islam, bak dua
kutub yang tolak-menolak. Islam menjadi pesakitan, julukan teroris kemudian
melekat bagi setiap penganutnya. Dunia seakan mengidap Islamophobia berjamaah.
Penyakit itu menular dari satu negara ke negara lain. Dunia begitu sensitif
dengan segala hal yang berbau Islam, lihat saja betapa ketatnya pemeriksaan di
bagian imigrasi terhadap penumpang (yang dicurigai) beragama Islam. Islam
divonis sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala bentuk terorisme yang
terjadi di muka bumi.
Cerita
dalam novel ini bermula dari ditugaskannya Hanum oleh atasannya bernama Gertrud
Robinson untuk membuat tulisan dalam rangka menyelamatkan surat kabar bernama Heute
ist Wunderbar, Media tempat Hanum bekerja di Austria. Gertrud
memerintahkan Hanum untuk menuliskan sebuah artikel luar biasa agar bisa
mendongkrak oplah surat kabar tersebut yang terancam gulung tikar. Artikel itu
berjudul “Would the World be Better without Islam”, akankah dunia lebih baik tanpa Islam?. Hanum merasa tema artikel
yang diajukan Gertrud menyudutkan umat Islam. Awalnya Hanum menolak untuk
melakukan liputan tersebut, dia justru mengajukan nama rekannya yang lain untuk
menuliskan artikel kontroversial tersebut. Namun Gerturd bersikukuh, Hanum
adalah reporter yang tepat karena ia seorang muslim. Gertrud ingin seorang
muslim yang menulisnya dengan objektif. Akhirnya Hanum menyetujuinya setelah ia
mengetahui alasan Gertrud memilihnya untuk melakukan tugas tersebut. Seperti
yang dikatakan oleh Gerturd dalam novel tersebut, “Terima kasih, Hanum. Aku
bersyukur. Kau tahu, jika Jacob yang menulisnya, pernyataan itu jelas akan
terjawab ‘ya’. Denganmu seorang muslim, aku masih berharap kau menjawab
pertanyaan itu dengan ‘tidak’. Kau paham kan sekarang?”. Dalam
perkataan Gertrud tersebut dapat disimpulkan bahwa Gertrud memberikan
kesempatan kepada Hanum untuk memperbaiki nama baik Islam di mata dunia.
Hanum
dan Rangga seolah diberi tugas untuk sama-sama menjelajah dan menyibak
kekuasaan Tuhan di bumi Amerika. Hanum bertugas mewawancarai korban 9/11
sedangkan Rangga ditugaskan oleh Reinhard untuk mempresentasikan papernya
sekaligus menghadiri konferensi di Washington DC yang dihadiri oleh Phillipus
Brown, seorang pebisnis yang tersohor berkat mendermakan hartanya pada
anak-anak korban perang di Irak dan Afghanistan. Namun takdir berkata lain,
Hanum dan Rangga terpisah di saat Hanum tengah mewawancarai seorang demonstran
di lokasi Ground Zero. Demonstrasi yang berlangsung damai seketika menjadi
panas atas kehadiran kelompok provokator.
Hanum terluka dalam kejadian demonstrasi yang memanas tersebut, ia
terlempar, terdesak-desak oleh ribuan orang yang sedang penuh dengan amarah.
Karena merasa lelah akhirnya Hanum tertidur di beranda sebuah masjid. Di
situlah Hanum bertemu dengan Julia Collins, seorang muslimah yang memiliki nama
muslim Azima. Azima mengajaknya menginap di rumahnya. Mereka berbincang,
mencari tahu asal-usul masing-masing. Dari perbincangan itu diketahui bahwa
Azima adalah salah satu korban 9/11. Suami Azima, Ibrahim tewas dalam peristiwa
nahas pagi itu. Malam itu Hanum tak hanya mendengarkan cerita pilu Azima. Siapa
sangka, dari informasi yang didapatnya dari Azima terbongkarlah sejarah Islam
yang menghenyakkan bagi siapa saja yang membacanya. Seperti kutipan berikut, “Siapa
yang menyangka, Christophorus Columbus sebenarnya bukan penemu benua ini,
Hanum.”
“Pada 1492, Columbus sempat
mengira dia terdampar di India, ketika menemukan tanah tak bertuan ini. Dia
kecele karena dunia baru yang baru saja dia temukan ternyata sudah berpenghuni.
Orang-orang bertubuh tegap berbalut jubah, berhidung mancung, dan berkulit
merah.” Dari situ Hanum mendapatkan pengetahuan baru dan sekarang
ini masih menjadi perdebatan mengenai darimana datangnya orang-orang berhidung
mancung dan berjubah itu. Namun ada yang menarik, sebuah prasasti yang ditulis
di China akhir abad ke-12 mengatakan bahwa musafir-musafir muslim dari tanah China,
Eropa dan Afrika telah berlayar jauh sampai ke benua itu. Tiga ratus tahun
sebelum colombus. Percakapan antara Hanum dan Azima masih berlangsung dengan
sangat seru, Azima mengatakan bahwa Colombus berhasil menemukan Benua itu
karena bantuan kaum Morisco. Morisco adalah orang-orang muslim yang harus
berpura-pura murtad untuk menyelamatkan diri dari Reconquista, gerakan untuk mengusir muslim dan yahudi dari tanah
Andalusia-Spanyol. Padahal rakyat Khatolik sendiri tidak setuju, karena
mengingkari janji dengan Sultan terakhir
Granada yang berkuasa di Spanyol. Ratu Isabella pun akhirnya membiayai
ekspedisi Colombus mencari tanah jajahan baru untu Spanyol. Bukan hanya
orang-orang Islam dan Yahudi saja yang dikejar-kejar tetapi juga penduduk asli
Amerika-orang Indian itu akhirnya harus bernasib sama, diburu dan dihabisi oleh
pendatang Eropa itu. Penjelasan Azima panjang lebar.
Hanum
tertarik dengan nasib orang-orang Moor. Ia bertanya kepada Azima. Akhirnya banyak kaum Moor yang melarikan diri
sejauh-jauhnya, berlayar tak tentu arah, hingga sampailah mereka di benua ini.
Kemudian mereka berbaur dengan masyarakat setempat, menikah dengan pendatang
Eropa lainnya, ada juga yang menikah dengan suku-suku Indian dan budak-budak
Afrika. Mereka mulai membentuk koloni di tanah Amerika. Salah satunya adalah
koloniyang disebut Melungeon. Itu sebabnya di negara bagian California, Indiana
dan Ohio ada beberapa kota tua yang bernama Medina dan Mecca. Novel tersebut
juga menceritakan mengenai Dokumen “Declaration of Independent” karya Founding
Father Amerika yang diakui mengambil Al-Qur’an sebagai sumber filsafatnya.
Thomas Jefferson sebagai penulis sebagian besar dokumen tersebut, sebagai salah
satu Founding Father dan presiden USA dia sangat mahir berbahasa Arab dan
menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi keilmuannya. Jefferson juga memiliki
Al-Qur’an.
Di dalam
novel itu juga disebutkan bahwa, institusi pengadilan di Amerika Serikat
menukil ayat Al-Qur’an sebagai dasar hukum. Yaitu surat An-Nisaa’ Ayat 135,
ayat yang mampu menyihir para pelaku hukum di Amerika Serikat sebagai institusi
hukumnya. Di sekolah hukum termasyhur di dunia. Sekolah impian semua orang yang
untuk masuk kesana tidak cukup dengan berotak encer, harus lebih daripada itu.
Universitas Harvard yag begitu megah akan ketenarannya menghasilkan
intelektual-intelektual bertaraf dunia. Ternyata pada salah satu pintu gerbang
fakultasnya. Fakultas hukum. Di salah satu dindingnya berukiran inskripsi Al-Qur’an, pahatan nukilan ayat Al-Qur’an
tentang kehebatan ajaran keadilan sebagai lambang supremasi hukum manusia.
Surat An-Nisaa’ Ayat 135. Tidak bisa dibayangkan semua pemuka hukum, pemikir
dari lulusan sekolah hukum di sini, profesor, pengajar dan tak lupa para murid
yang sudah tak perlu didebat lagi isi otaknya, mengakui keangungan ayat ini.
Azima lalu melantunkan ayat itu dengan fasih. Azima memiliki kemampuan bahasa
Arab yang tak perlu diuji lagi. Ia berhenti membaca dan mengutip artinya.
“Wahai orang-orang yang beriman!
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap
dirimu sendiri atau terhadap ibu-bapak dan kaum krabatmu. Jika dia (yang
terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya
(kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka ketahuilah Allah maha teliti terhadap segala apa yang kamu
kerjakan.”
Dalam
novel ini juga menceritakan bahwa disalah satu gedung negara Amerika terdapat
pula patung Nabi Muhammad sebagai patron keadilan di bumi Amerika Serikat.
Mengetahui hal tersebut awalnya Hanum tidak bisa menerima karena sebagai
seorang muslim Nabi Muhammad adalah junjungan kita, ia tidak bisa terima karena
junjungannya dibuatkan patung di relief neoklasik pada dinding Supreme Court
atau Mahkamah Agung Amerika Serikat. Nabi Muhammad memegang buku tebal yang
diasumsikan sebagai Al-Qur’an di letakkan di tengah, diapit oleh beberapa tokoh
besar sejarah dunia. Seperti, Hammurabi, Charlemagne, King Jhon, Justinian dan
sejumlah tokoh lain sebelum masehi. Mereka semua membawa piranti ketokohan
mereka masing-masing, seperti pedang, buku dan tongkat. Di ujung utara pahatan
patung itu ada sederet nama Nabi lain yang dipatungkan! Tertera nama: Moses
atau Musa dan Solomon atau Sulaiman. Hanum hampir menangis melihat kenyataan
tragis Nabi Muhammad disejajarkan dengan tokoh-tokoh itu, emosinya meluap.
Azima yang melihat ekspresi wajah Hanum langsung menenangkannya dan berkata, “Hanum jangan terprovokasi dengan emosimu
sendiri. Pikirkan baik-baik. Kau lihat ini. Pengukirnya adolph Weinman, jelas
bukan seorang muslim. Dia tentu tidak paham bahwa menggambarkan Nabi besar kita
kedalam bentuk visual itu tidak diperbolehkan atau diharamkan. Tapi lihat ini,”
Azima menunjuk judul yang diberikan oleh Winman dalam lukisan pahatnya.
“The Great Law Givers on Earth”
(Para Pencurah Keadilan di Atas Bumi)
Sisi kebaikan yang harus kita
lihat dalam hal ini adalah, Wienman mempunyai keyakinan tentang para Nabi.
Bahkan ia memampangkannya sebagai patron keadilan di Bumi Amerika Serikat.
Di lain
tempat, Rangga masih menyimpan kegelisahannya akan Hanum. Istri yang ia cintai
tak juga memberikan kabar. Di tempat konverensi, Rangga berhasil bertemu dan
berbicara empat mata dengan pebisnis dermawan itu, Phillipus Brown. Dari
perbincangan inilah semua kesaksian dan teka-teki yang selama delapan tahun ini
tersimpan, semuanya akan tersingkap dan akan menjalin cerita yang tak akan
disangka-sangka. Berikut adalah kutipan-kutipan yang dapat kita jadikan sebagai
renungan.
Bahwa meskipun sudah
blakblakan membuka rahasia kesuksesan, mereka sadar bahwa tak akan ada orang
yang bisa menjiplak perjalanan hidup. Seperti halnya dua buah pohon yang
sejenis, dipupuk, disiram, dan diperlakukan sama persis, toh tetap menyisakan
pertanyaan: Mengapa yang satu berbuah sementara yang satu tidak? Yang satu
tumbuh subur bahkan menggerus yang satu lagi hingga kering kerontang.
Kesuksesan, sekali lagi, adalah soal relativitas pemandangnya. (Halaman
22)
“Mr. Mahendra, aku punya
alasan tersendiri mengapa aku menjadi filantropi. Aku berutang budi pada
seseorang yang telah menyelamatkan jiwaku. Mengajariku ikhlas dan berbuat baik
tanpa pamrih.” (Halaman 199)
“Betapa kekayaan justru
membuat kita makin kikir dan tak pernah bisa hidup tenang. Dulu saya mengira
seseorang bisa gila jika di dompetnya tak ada uang sepeser pun. Tapi ternyata
terlalu banyak uang pun bisa membuat kita gila.” (Halaman 213)
Comments
Post a Comment