RESENSI NOVEL: Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Judul buku :
Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Pengarang : Tere
Liye
Penerbit :
Republika
Terbit : Jakarta, 2009
Tebal
buku : 426 halaman
Novel ini menceritakan tentang kisah perjalanan hidup seorang lelaki
bernama Ray. Tere Liye menyajikan kisah ini dengan sangat unik, karena dikemas
dalam alur mundur melalui perjalanan metafisik yang amat fantastis dan menarik.
Ini bukan tentang biografi seorang anak manusia, namun terlebih pada aneka
hikmah pembelajaran yang lebih dalam untuk memaknai hidup itu sendiri. Sekitar
5 hari sebelum meninggalnya Ray, ketika itu ia berusia 60 tahun, dan dalam
keadaan sakit keras, ia didatangi oleh seorang yang disebut penulis sebagai
“orang berwajah menyenangkan”, untuk menemani perjalanan metafisik menapaki
kehidupan dari kecil hingga tua seorang pasien bernama Ray, ia yang adalah
seorang konglomerat pemilik imperium bisnis yang menggurita. Ini bukan sekadar
pemutaran ulang kisah hidupnya, namun Ray diberi kesempatan melihat dari sisi
lain yang ia tidak pernah tahu sebelumnya. Perjalanan inilah yang akhirnya
mampu menjawab lima besar pertanyaan yang mengetuk-ngetuk hati dan kepalanya
sepanjang hidupnya.
Rey yang mempunyai lima pertanyaan
besar dalam hidupnya yang tak bisa ia jawab. Sejak kecil Rey yang saat kecilnya
dipanggil Rehan tinggal di sebuah panti asuhan yang sangat dibencinya. Di panti
itu Rehan termasuk anak yang nakal, ia selalu memberontak penjaga panti yang
menurutnya sok suci, ia menyebutnya demikian karena kepribadian penjaga
pantinya itu memang sok suci. Bagaimana tidak, penjaga pantinya selalu
mendapatkan uang dari para dermawan yang seharusnya untuk anak panti, tapi ia
menyimpannya untuk tabungan hajinya. Penjaga panti ialah seorang yang
“mengeksploitasi” anak-anak dengan mempekerjakan mereka di jalanan. Ia pun
menyalahgunakan sumbangan dari para donatur untuk mencapai ambisinya yang
naik haji.
Rehan(Rey) yang cerdas dapat menangkap peta politik si penjaga panti,
sehingga ia menjadi seorang yang skeptis. Termasuk skeptis terhadap takdir hidupnya
sendiri. Sebenarnya teman sekamar Rehan yang bernama Diar amat menyayanginya.
Diar yang amat peduli. Yang selalu menyisakan setengah jatah makanannya ketika
sahabatnya pulang larut malam dengan memanjat pagar dan mencongkel jendela
kamar. Namun saat itu Rehan tidak peduli dan menerima kebaikan dengan
datar-datar saja, itu karena mata dan hatinya sudah diliputi perasaan benci.
Benci terhadap penjaga panti yang sok suci di matanya. Benci terhadap
takdirnya. Hingga suatu saat Rehan memutuskan untuk pergi dari panti tersebut. Namun sebelum itu, Rehan masuk
kedalam kantor penjaga panti untuk
mengambil sebuah brankas.
Teramat banyak kepahitan hidup yang dialami setelah ia kabur dari panti
asuhan. Diar, sahabat baiknya sebagaimana penghuni panti lainnya menjalani
keseharian dengan bekerja sebagai penjaga toilet umum di terminal, tempat Rehan
melangsungkan aksinya sebagai preman. Rehan mencuri celana jins milik supir bis
malam yang sedang mandi di toilet umum tersebut lalu membawanya lari. Diar yang
tidak sempat menjelaskan tentang siapa pencuri celana jins tersebut menjadi
korban amuk massa dengan siksaan yang amat mengerikan. Beruntung polisi segera
datang sebelum massa membakarnya hidup-hidup, hingga ia dilarikan ke rumah
sakit. Di ruang ICU itulah Diar bersebelahan dengan Rehan yang dirawat di ruang
yang sama dalam kondisi sama kritisnya. Petualangan Rehan di meja judi,
menang-kalah dan lalu menang lagi hingga menggulung habis kekayaan si Bandar
judi harus dibayar mahal. Ia ditemukan polisi dengan luka 8 tusukan di perut
dan pahanya yang amat parah. Dan takdir pula yang menentukan hingga keduanya
dirawat di ruang ICU yang sama.
Di sinilah ternyata ruang yang ditentukan langit untuk menjadi titik
balik si penjaga panti. Diar dalam kesaksian terakhirnya mengakui bahwa dialah
perusak tasbih milik penjaga panti. Ketika itu Rehan mengakui kesalahan itu
sebagai kesalahannya hingga hukuman cambuk dan siksaan itu ditanggungnya dengan
sepenuh ketegaran. Bagi Rehan, pengakuan itu hanya sebagai bentuk perlawanan. Sementara
bagi Diar, peristiwa itu amat meninggalkan kesan mendalam sehingga terhitung
hari itu, ia bersumpah untuk selalu menghargai Rehan, sahabatnya. Ia tak peduli
bagaimana pun kebandelan Rehan, dan bagaimana pun Rehan di mata orang lain, di
mata Diar, Rehan adalah pahlawan. Detik-detik akhir sebelum akhirnya Diar
menghembuskan napas terakhirnya, ia menitipkan Rehan pada penjaga panti agar
menyelamatkannya. Penjaga panti yang seperti menemukan cahaya di lorong
gelap, dibukakan mata hatinya atas seluruh kesalahan besar yang ia lakukan
selama ini. Tabungan yang hampir terkumpul untuk menunaikan ibadah haji
diambilnya untuk membiayai pengobatan Rehan ke ibu kota. ( Peristiwa demi
peristiwa ini dikisahkan oleh orang berwajah menyenangkan pada Ray, karena ketika
itu jelas Ray tidak pernah tahu tentang apa yang Diar pikirkan. Termasuk ketika
Diar meninggal pun, Ray tidak tahu karena saat itu dia sendiri sedang kritis).
Kepahitan hidup Rehan remaja sempat berhenti ketika ia dititipkan ke
sebuah rumah singgah sepulang ia berobat selama 6 bulan di ibu kota itu. Rumah
singgah yang pertama kali mengajarkannya tentang arti sebuah
keluarga. Bang Ape, pemilik serta pengelola rumah singgah itu mengajarkan
banyak hal. Termasuk motivasi yang terus menerus ditanamkan untuk menjadi orang
yang baik. “Kalian mungkin memiliki masa lalu yang buruk, tapi
kalian memiliki kepalan tangan untuk mengubahnya”,
adalah salah satu kalimat motivasi yang amat dalam tertanam di hatinya, dan
juga pastinya di hati teman-teman rumah singgah itu. Ketika salah seorang
diantara mereka diadopsi orang sehingga harus meninggalkan rumah singgah itu,
kembali Bang Ape memberikan mantranya ; “Kalian akan tetap menjadi
saudara di mana pun berada, kalian sungguh akan tetap menjadi saudara. Tidak
ada yang pergi dari hati. Tidak ada yang hilang dari sebuah kenangan. Kalian
sungguh akan tetap menjadi saudara”
Satu hal kebiasaan Rehan memandang rembulan setiap
purnama tiba masih terus berlanjut. Hanya dengan mengagumi keindahan rembulan,
Rehan mampu menangkap satu keindahan hidup yang menentramkannya. Sampai
suatu saat ketika ia dengan lincah turun dari tower air yang tingginya mencapai
10 meter, pengontrak rumah mentereng di sebelah tower itu terkagum-kagum dan
mengajaknya berkenalan. Di kemudian hari, lelaki bernama Plee yang menawarkan
persahabatan dengan secangkir coklat panas itu mengajak kerja sama. Kerja sama
tersebut adalah melakukan pencurian berlian seribu karat yang tersimpan di
lantai 40 gedung di ibukota.
Kehidupannya berubah drastis ketika ia ikut dalam pencurian berlian seribu
karat itu, dan berlian itu ditinggalkan rekan mencurinya di tower air. Rekan
mencurinya tertangkap oleh polisi dan telah divonis hukuman mati. Setelah
hukuman mati itu, Rey kembali ke kampung halamannya. Dia bertemu dengan seorang
gadis bernama Fitri yang ditemuinya di gerbong makan, ia jatuh cinta pada gadis
itu. Gadis yang penyayang anak-anak itu teryata juga memiliki perasaan yang
sama dengan Rey. Kemudian ia menikah, keluarga yang bahagia, ia membeli sebuah
rumah kecil di dekat pantai. Istrinya sempat hamil namun keguguran. Kesedihan
sempat ada, namun hari berganti dan istrinya hamil lagi. Namun takdir berkata
lain, istrinya keguguran lagi. Istrinya juga meninggal waktu itu.
Rey menjual rumahnya dan pergi ke Ibukota. Ia pergi ke tower air yang
sering ia panjat untuk melihat bintang. Ia menemukan berlian yang ditinggalkan
rekannya di tower air dan menjadikannya modal untuk membangun sebuah gedung
tertinggi yang merupakan mimpinya yang ia persembahkan untuk istrinya, menjadi
awal karir barunya. Ia menjadi seorang pengusaha sukses. Menjadi orang kaya
penguasa bisnis imperium. Namun diantara harta yang ia miliki, ia tetap merasa
sendiri. Hari berganti, Rey telah berhasih membuat beberapa bangunan tertinggi
itu. Namun tiba-tiba ia jatuh sakit, sakit parah. Padahal ia selalu menjaga
kesehatan, bahkan naik-turun tangga selama ia mengerjakan proyek sudah lebih dari
cukup jika dibilang olahraga. Disaat ia sakit
itulah, Rey diberikan sebuah kesempatan. Kesempatan itu seperti memutar
kembali semua kisah hidupnya sejak ia kecil sampai ia jatuh sakit. Kesempatan
itu diberikan kepadanya hanya karena dia tanpa ia sadari memuji rembulan yang
selalu membuatnya merasa tenang, sehingga tanpa ia sadari ia memuji ciptaan
Tuhan.
Kesempatan itu menjawab semua pertanyaan besar dalam hidupnya. Kelima
pertanyaan besar tersebut, Apakah hidup ini adil? Apakah cinta itu? Apakah kita
memiliki pilihan dalam hidup ini? Apakah kaya adalah segalanya? Apakah makna
kehilangan?. Yang pada dasarnya
kehidupan adalah sebuah proses sebab akibat. Sesuatu yang kita kerjakan
mungkin adalah sebab bagi orang lain. Kehidupan ini saling berkesinambungan.
Jangan melihat suatu hal dari satu sisi saja, namun juga dari sisi yang
lainnya. Jika kita ditinggalkan oleh seseorang, jangan melihat dari sisi kita
sendiri yang ditinggalkan, tapi juga dari sisi orang yang meninggalkan kita.
Mungkin orang yang meninggalkan kita akan mendapatkan kehidupan yang lebih
baik. Berfikir positif terhadap segala hal. Itu adalah pesan yang disamaikan
oleh Tere-Liye dalam novel ini. Sangat sederhana namun penuh makna.
Novel
berjudul Rembulan Tenggelam di Wajahmu, dapat dikatakan unik. Tema dan
jalan cerita yang mungkin jarang atau hampir tidak pernah terpikirkan oleh
kebanyakan orang. Tere-Liye cukup mahir untuk merangkai kata demi kata menjadi
kalimat, merajut potongan-potongan kejadian menjadi sebuah lembaran hidup yang
utuh dalam novel ini. Pengarang sangat pandai membuat pembaca novel ini
mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga pembaca seolah-olah diharuskan
untuk terus membacanya karena setiap kejadian dalam novel ini sangat
memengaruhi perkembangan cerita. Novel ini menjelaskan setiap kejadian dengan detail dan cara
yang membuat pembaca tergugah dan terkesan. Novel ini juga membuat kita
menyadari betapa adilnya Tuhan dan bersyukur atas segala yang kita dapatkan.
Cerita ini dirangkai dengan alur maju mundur namun tetap jelas dan mengesankan
pembacanya. Sayangnya, awal dari cerita agak membosankan karena tidak adanya
konflik sama sekali dan tidak ada yang menarik sehingga pembaca harus bersabar
membaca. Namun walaupun begitu, konflik yang diciptakan oleh penulis cukup
menegangkan sehingga membuat pembaca menjadi tidak sabar membaca kelanjutannya.
Membaca novel ini seperti belajar tentang kearifan. belajar soal
kesederhanaan dan keikhlasan menerima. Belajar senantiasa berbaik sangka,
belajar bahwa untuk banyak hal mengalah itu bukan berarti kalah dan tidak
membalas itu bukan berarti tak berdaya ataupun tidak bisa apa-apa. Adakalanya
mengalah berarti bebas, bebas dari nafsu untuk membalas, bebas menerima situasi
apa adanya. Novel ini membuat saya semakin percaya bahwa hidup ini adil, tak
terbantahkan lagi, bahwa hidup ini adil. Sebab penciptanya adil dan mengatur
semua dengan keadilanNya.
Novel ini memberikan banyak pelajaran bahwa kita harus melihat suatu
persoalan dari sisi yang berbeda bukan hanya dari satu sudut pandang saja. Tere
liye, telah sukses membuat pembaca menjadi paham bahwa hidup ini sungguh
sederhana. Novel ini juga berhasil mengungkapkan lika-liku pahit-manisnya
kehidupan yang tidak dapat dinalar oleh
logika manusia. Potongan-potongan hidup manusia yang sadar atau tidak sadar
merupakan suatu siklus sebab akibat, terkait satu sama lain.
Comments
Post a Comment