CERPEN: Menjalin Seutas Rindu Lewat Selembar Songket


Derasnya hujan di sore itu seolah mendukung perjalanan mengenang masa lalu yang aku lakukan bersama Ibu. Ritme suara hujan yang sangat syahdu seolah menjadi melodi terapi yang memunculkan bayangan-bayangan masa muda Ibu. Kopi hitam yang aku seduh sore itu seolah turut berkolaborasi rasa dengan gurihnya gorengan singkong hangat. Ya, seperti perasaanku yang ikut terbawa mendengar cerita Ibu dan geng sekolahnya dulu.

Rasanya tak akan habis kata yang mampu menggambarkan perasaan bahagia kala Ibu menceritakan masa lalunya. Tergambar jelas kerinduan yang teramat sangat terpancar dari matanya ketika ia bercerita.

Sebuah kain tenun songket yang tengah aku pegang, menjadi kunci utama perjalanan menelusuri masa lalu.

“Ibu dulu punya teman yang buat kain tenun songket seperti yang kamu bawa itu, Nan. Namanya Salma. Dulu sahabat akrab Ibu waktu SMA,” ucap Ibu mencoba membuka pintu nostalgia.

“Tapi udah lama nggak ketemu, terakhir ketemu 30 tahun yang lalu pas dia menikah. Setelah itu kehilangan kontak.  Dulu terkenal banget, kain songket yang dibuatnya sampai eksport ke luar negeri. Sekarang gimana ya dia,” lanjutnya sambil menatap langit-langit ruang tamu. Terdiam membayangkan apa yang terjadi  dalam kehidupan sahabat Ibu sekarang. Cuplikan-cuplikan kejadian masa lalu seolah muncul kembali dan berputar di benaknya. Senyum tak pernah lepas dari bibir Ibu.

“Ha-ha-ha-ha,” tawanya tiba-tiba. Mungkin cuplikan nostalgia di pikirannya saat ini tengah menayangkan kejadian lucu penyebab tawanya. Aku tersenyum maklum. Kadang, ketika mengenang kejadian menggelikan sering kali tiba-tiba muncul dan memerintah otak memproses tawa.

Sambil memainkan secangkir kopi hitam milikku, aku semakin menikmati obrolan ini.

“Kenapa Ibu nggak coba main ke sana, pasti banyak sekali yang berubah?” aku sungguh tertarik untuk bertemu tokoh Salma dalam cerita Ibu.

“Iya ya, mungkin minggu depan bisa kita agendakan untuk datang ke sana bersama Ayah, Ibu sepertinya masih ingat arah rumahnya,” kata Ibu bahagia. Berdasarkan cerita Ibu, rumah temannya ini bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 2 jam dari kota tempatku tinggal.

Ya, tokoh Salma dalam cerita Ibu dulunya mondok di Pesantren yang sama dengan Ibu. Mereka sering bermain bersama, berpetualang menikmati masa lajang. Cerita Ibu, Salma lebih sering menginap di rumah Ibu ketika liburan. Dibandingkan dengan pulang ke rumahnya sendiri.

“Dulu, Salma punya pacar, teman satu kelas kami. Tetapi, beberapa tahun setelah lulus, Ibu dengar cerita kalau dia dijodohkan dengan pilihan orang tuanya. Kasihan dia, padahal dulu cintanya ke pacarnya seperti setengah mati,” Ibu melanjutkan cerita sambil mengambil kain songket yang ada di pangkuanku. Melihat detail kainnya, menatapnya dalam diam, seolah mengamati setiap helai benang yang membentuknya. Tapi aku yakin, ibu tengah menyusun sebuah cerita berikutnya tentang Salma.

“Ibu dan Ayah datang waktu dia nikah. Ibu ingat jelas, air matanya yang keluar di hari bahagianya. Bukan. Bukan air mata bahagia. Itu air mata sedih yang meratap. Seolah pasrah pada nasib, Nan. Dia hanya menangis dan menangis ketika bertemu dengan Ibu di hari yang seharusnya membuatnya bahagia. Mungkin saat itu rasanya takdir sangat tidak adil padanya,”

“Dia tidak bisa bersatu dengan orang yang begitu dia cintai,” lanjut Ibu menatapku, seolah tau, aku tengah merasakan hal yang sama.

Hari ini menjadi panggung Ibu untuk bercerita, aku tak ingin menyelanya dengan cerita laraku. Biarlah, biarlah aku penjadi pendengar di segmen ini.

“Ayah dan keluarga besar Salma sudah usaha Songket turun temurun. Suami yang dijodohkan dengannya pun demikian, sudah mendalami usaha persongketan itu sampai ke luar negeri. Mungkin memang ada sisi materi yang dilihat orang tua Salma kala itu. Kali aja, ayahnya memang mencari sosok menantu yang nantinya bisa melanjutkan usahanya,” jelas Ibu.

Ibu bercerita jika ia sudah berusaha menasehati Salma agar menerima dengan besar hati perjodohan itu. Setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, benar? Meski terkadang apa yang menurut mereka baik dipandang dengan kacamata yang berbeda oleh anaknya.

Salma, aku ingin mendengar ceritanya lebih lanjut. Belajar bagaimana ia berbesar hati dan melanjutkan kehidupan berikutnya, tanpa cinta yang dia damba.

Tuhan, Engkau menciptakan hati dengan segala keajaban, kelembutan dan kebesarannya. Dan Engkau Dzat yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Aku menggenggam cangkir kopi setengah hangat, berharap kehangatannya meresap ketubuh dan hatiku yang beku. Hujan tak jua berhenti. Di depanku Ibu masih duduk memeluk selembar songket seakan menyalurkan rasa rindu yang menggebu.

 

****

Seminggu setelah percakapan aku dengan Ibu, kami pergi mengunjungi kediaman Salma. Pagi-pagi sekali berangkat, memantapkan niat untuk bertemu dengan kawan lama Ibu. Sepanjang perjalanan, kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Mereka-reka seperti apa kisah hidup tokoh Salma saat ini.

Benakku berimajinasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Aku menatap ke arah jendela mobil, agar terlihat sibuk sementara otakku merekam imaji tentang Salma. Apakah dia bahagia dengan jalan yang dia ambil kala itu, atau penyesalan yang dia rasakan. Sumpah, aku penasaran. Lalu, bagaimana dia melupakan perasaan mendalamnya dengan kekasihnya dulu.

Apa sekarang dia masih tinggal di tempat yang sama, seperti apa orangnya? Kata Ibu dia cantik dan menjadi idola bersama geng Ibu lainnya.

“Ibu kok malah bingung ya, rasanya akan canggung karena udah lama sekali nggak ketemu,” ungkap Ibu, menenggokkan kepalanya ke jok belakang. Menuntutku memberikan jawaban yang bisa menenangkan.

“Ha ha. Itu wajar bu, aku pun mungkin akan merasa begitu. Kepikiran akan membahas apa nanti, tapi tak apa, pasti nanti juga ada aja pembahasannya,” jawabku menatap lembut Ibu, seolah melakukan kewajibanku untuk membuatnya lebih tenang.

Ayah tak bersuara, hanya menjadi pemain figuran dalam perjalanan kali ini. Menyetir, membawa nasib kami dalam genggamannya.

Dua jam lebih kita tempuh sampai lokasi itu. Kita berhenti di depan rumah kuno bentuk joglo, rumah yang Ibu yakini jika itu kediaman rekannya. Ayah turun dari mobil untuk mencari informasi tentang Salma. Setelahnya disusul Ibu, keluar mobil menemui Ayah yang tengah berbincang dengan orang di seberang rumah itu.

Mungkin mereka bertanya-tanya tentang penghuni rumah itu, apakah masih sama. Aku masih betah mengamati sekitar melalui jendela mobil. Suasana perdesaan yang asri. Rumah itu paling mencolok dibandingkan dengan rumah-rumah sekitar.

Dilengkapi dengan ornament kayu ukir yang menambah kesan mewah meskipun terlihat kuno. Gerbang tinggi dan berongga seolah mempersilahkan orang yang lewat untuk mengintip dan menikmati keindahan rumah ini.

Mataku tak sengaja bertatap dengan sosok yang tidak begitu asing di penglihatanku. Tetapi menjadi aneh ketika dia keluar dari rumah yang ku anggap asing.

Aku menoleh ke arah Ayah dan Ibu, setelah tak ada tanda-tanda mereka akan berbalik, akhirnya aku memutuskan untuk turun dari mobil. Mengamati dari dekat rumah itu.

Sosok yang begitu familier itu berjalan mendekat dari arah rumah ke gerbang tempatku berdiri. Semakin dekat dan dekat. Membuat jantungku terpacu begitu dahsyat. Sebelum genap melihat, Ayah dan Ibu menepuk pundakku.

“Benar ini, Nan. Ini rumah Salma. Sepertinya itu puteranya, mari kita sapa,” kata Ibu sambil menunjuk seseorang yang baru saja berusaha membuka gerbang.

“Selamat pagi, monggo masuk, ingin bertemu dengan siapa nggeh Pak? ,” ucapnya mempersilahkan kami masuk. Seolah menangkap sinyal jika kami datang ingin bertamu. Ayah menjadi yang terdepan diantara kami. Disusul dengan Ibu, muka orang itu tertutup punggung Ibu.

“Ini benar dengan kediaman Ibu Salma, mas?” Tanya Ibu.

“Oh, mau bertemu mama?,” Laki-laki lalu mempersilahkan kami masuk.

Hingga tanpa sadar, tatapan kami bertemu. Jantungku terpacu begitu hebat. Seolah ada gempa dahsyat yang mengguncang ketentraman jiwaku. Kenyataan apalagi ini.

“NANDA,” “ARSA,” Teriak kami bersamaan dengan tatapan seolah pertemuan kami adalah suatu kemustahilan. Ibu dan Ayah yang sudah beberapa langkah di depan berbalik dan melihat penuh tanya.

Ya, Arsa Dewanta. Laki-laki yang menjadi alasan terkuatku untuk datang mencari tau resep belajar berbesar hati melepaskan seorang. Melalui kisah hidup Salma yang ternyata, ibu dari sosok yang sangat ingin kulepaskan.

 

***

Jadi, tamat atau bersambung?

Comments

Post a Comment